Selasa, 06 Mei 2014

sisi lain pilkada langsung



Kamis malam ketua MK ‘AM’ ditangkap KPK bersama dengan 2 rekannya yang berstatus pengusaha dan anggota DPR, diduga  tlah terjadi praktik KKN terhadap pemilihan salah satu Kepala Daerah di Kalimantan Utara.
Lagi-lagi Kepala Daerah terganjal kasus KKN, sebuah kondisi yang harus dikaji kembali terkait dengan pemilihan Kepala Daerah. Konsititusi menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, namun tidak menjelaskan makna demokratis itu sendiri. Sebagian besar pemerhati politik di tanah air menyebutkan bahwa ciri khas sistem demokrasi atas suatu pemilihan kepala daerah adalah pemilihan secara langsung. Dengan demikian dalam praktek pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia adalah dengan pemilihan langsung. Tercatat jumlah pemerintah daerah di Indonesia terdiri dari PD TK I dan TK II , bagaimana bisa pemilihan kepala daerah tersebut dilakukan secara langsung. Sudah berapa besar ongkos yang dikeluarkan dalam proses pemilihan tersebut? Bayangkan segala biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pencalonan, mulai dari pembentukan tim sukses, spanduk dan brosur dalam kampanye, mobilsasi masa dengan iming-iming uang dsb. Tentunya logika umum bicara, setelah menang pemilihan tersebut dia akan berpikir bagaimana mengembalikan modal yang dikeluarkannya.
Oleh karenanya segala cara akan ditempuh demi modal kembali, jika dahulu modus KKN adalah dengan bermain anggaran APBD, maka cara tersebut terasa basi dan mudah dilacak, munculnya peristiwa OTT KPK terhadap pejabat bersama pengusaha menggambarkan keterkaitan antara kewenangan pejabat dengan dunia bisnis di wilayahnya. Praktik KKN dengan bermain anggaran telah ditingalkan beralih dengan menggandeng pengusaha demi kepentingan usahanya dikemudian hari.
Demokrasi yang kita lakukan masih dalam batas demokrasi sebagai cara bukan sebagai nilai dan tujuan. Padahal pemilihan langsung tidak semata-mata mencerminkan demokrasi sudah berjalan dengan benar, pemilihan kepala daerah membuktikan berapa besar biaya yang ditimbulkan untuk menyelenggarakan pemilihan langsung, disamping sejauh mana pola pikir masyarakat dalam menyikapi pemilihan langusng tersebut, sebuah penelitian di amerika disampaikan untuk melakukan demokrasi (pemilihan langsung) maka faktor-faktor yang menentukannya adalah salah satunya adalah pendapatan perkapita setiap penduduk di AS, pendapatan perkapita penduduk setiap bulan rata-tara USD 7.000, sedangkan di indonesia baru berkisar USD 3.000 s/d 4.000. kondisi demikian menimbulkan dampak kerusakan moral, ketika masyarakat tidak melihat pemilihan langsung sebagai nilai demokrasi melainkan cara untuk memperoleh keuntungan, fenomena ini terlihat dari kegiatan kampanye dalam pemilihan langsung, masyarakat semakin pintar (baca licik) ketika dia mau menerima “serangang fajar” namun tidak menjaminkan pilihanya kepada siapa.
Apa yang salah dengan kegiatan pemilihan langsung kepala desa ini, sementara masih ada pendapat bahwa yang salah adalah orangnya bukan sistemnya.