Kamis malam
ketua MK ‘AM’ ditangkap KPK bersama dengan 2 rekannya yang berstatus pengusaha
dan anggota DPR, diduga tlah terjadi
praktik KKN terhadap pemilihan salah satu Kepala Daerah di Kalimantan Utara.
Lagi-lagi
Kepala Daerah terganjal kasus KKN, sebuah kondisi yang harus dikaji kembali
terkait dengan pemilihan Kepala Daerah. Konsititusi menyatakan bahwa kepala
daerah dipilih secara demokratis, namun tidak menjelaskan makna demokratis itu
sendiri. Sebagian besar pemerhati politik di tanah air menyebutkan bahwa ciri
khas sistem demokrasi atas suatu pemilihan kepala daerah adalah pemilihan
secara langsung. Dengan demikian dalam praktek pemilihan kepala daerah di
seluruh wilayah Indonesia adalah dengan pemilihan langsung. Tercatat jumlah
pemerintah daerah di Indonesia terdiri dari PD TK I dan TK II , bagaimana bisa
pemilihan kepala daerah tersebut dilakukan secara langsung. Sudah berapa besar
ongkos yang dikeluarkan dalam proses pemilihan tersebut? Bayangkan segala biaya
yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pencalonan, mulai
dari pembentukan tim sukses, spanduk dan brosur dalam kampanye, mobilsasi masa
dengan iming-iming uang dsb. Tentunya logika umum bicara, setelah menang
pemilihan tersebut dia akan berpikir bagaimana mengembalikan modal yang
dikeluarkannya.
Oleh
karenanya segala cara akan ditempuh demi modal kembali, jika dahulu modus KKN
adalah dengan bermain anggaran APBD, maka cara tersebut terasa basi dan mudah
dilacak, munculnya peristiwa OTT KPK terhadap pejabat bersama pengusaha
menggambarkan keterkaitan antara kewenangan pejabat dengan dunia bisnis di
wilayahnya. Praktik KKN dengan bermain anggaran telah ditingalkan beralih
dengan menggandeng pengusaha demi kepentingan usahanya dikemudian hari.
Demokrasi
yang kita lakukan masih dalam batas demokrasi sebagai cara bukan sebagai nilai
dan tujuan. Padahal pemilihan langsung tidak semata-mata mencerminkan demokrasi
sudah berjalan dengan benar, pemilihan kepala daerah membuktikan berapa besar
biaya yang ditimbulkan untuk menyelenggarakan pemilihan langsung, disamping
sejauh mana pola pikir masyarakat dalam menyikapi pemilihan langusng tersebut,
sebuah penelitian di amerika disampaikan untuk melakukan demokrasi (pemilihan
langsung) maka faktor-faktor yang menentukannya adalah salah satunya adalah
pendapatan perkapita setiap penduduk di AS, pendapatan perkapita penduduk
setiap bulan rata-tara USD 7.000, sedangkan di indonesia baru berkisar USD
3.000 s/d 4.000. kondisi demikian menimbulkan dampak kerusakan moral, ketika
masyarakat tidak melihat pemilihan langsung sebagai nilai demokrasi melainkan
cara untuk memperoleh keuntungan, fenomena ini terlihat dari kegiatan kampanye
dalam pemilihan langsung, masyarakat semakin pintar (baca licik) ketika dia mau
menerima “serangang fajar” namun tidak menjaminkan pilihanya kepada siapa.
Apa yang salah dengan kegiatan pemilihan langsung
kepala desa ini, sementara masih ada pendapat bahwa yang salah adalah orangnya
bukan sistemnya.