Selasa, 28 Desember 2010

Peran Kejaksaan dalam Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat

Institusi Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum, dengan meminjam istilah Lawrence Friedmen merupakan salah satu dari aspek dari struktur hukum disamping substansi hukum dan kultur hukum, dimana ketiga aspek ini sangat mempengaruhi dan menjadi komponen pokok dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hukum dalam rangka mengatasi persoalan hukum dalam arti secara luas dan khususnya masalah penegakan hukum. Seperti diketahui tujuan penegakan hukum adalah sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu mewujudkan ketertiban dan lainnya adalah untuk tercapainya keadilan. Suatu ketertiban mustahil akan dapat diwujudkan, jika hukum diabaikan. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tidak saja berpengaruh terhadap ketertiban dan keadilan, tetapi berperan membentuk kultur (budaya) hukum suatu masyarakat, karena mengatur perilaku.
Mengacu kepada kesadaran hukum ada pada diri setiap manusia, dengan tidak memandang bahwa orang tersebut berpendidikan hukum atau tidak, dan asas hukum yang mengatakan semua orang dianggap tahu akan norma-norma hukum yang berlaku dimasyarakat, maka persoalan kesadaran hukum bukan hanya persoalan sekelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang hukum. Namun demikian selaku aparatur penegak hukum yang dituntut untuk berlaku dan bersikap sesuai ketentuan hukum, baik didalam melaksanakan tugas maupun diluar kedinasan.
Oleh karena itu Aparat Kejaksaan khususnya jaksa adalah individu manusia yang dibentuk berdasarkan norma atau nilai-nilai yang ditentukan secara sadar dalam ketentuan hukum (UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan). Disebutkan oleh Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004, bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan (Pasal 1 angka 4 UU No. 16 tahun 2004). Untuk dapat menjadi jaksa, perundang-undangan telah menggariskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Setidak-tidaknya terdapat dua hal penting yang harus dipenuhi sesuai Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Pertama, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 ditentukan bahwa syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah: a. Warga Negara Indonesia; b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. Berijazah paling rendah sarjana hukum; e. Berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun; f. Sehat jasmani dan rohani; g. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; h. Pengawai negeri sipil; Kedua, bahwa selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
Ditegaskan oleh Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa ditetapkan oleh Jaksa Agung R.I. Saat ini telah dikeluarkan dan diberlakukan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : PER-037/A/JA/12/2009 tanggal 21 Desember 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia. Seperti yang telah berjalan selama ini, waktu Diklat Pembentukan Jaksa adalah 6 bulan (2 bulan pertama masa praktek lapangang dan 4 bulan berikutnya masa pendidikan). Apabila yang bersangkutan dinyatakan lulus, maka dilantik menjadi jaksa dengan mengucapkan sumpah atau janji. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mewajibkan, bahwa sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, dihadapan Jaksa Agung. Mengenai bunyi sumpah atau janji yang harus diucapkan tertera dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) merupakan diklat dasar bagi seorang Jaksa. Untuk Diklat lanjutan ditempuh melalui Diklat Teknis atau Diklat Fungsional. Sedangkan untuk Diklat Struktural dilakukan melalui Diklat Kepemimpinan. Adapun keseluruhan jenis dan jenjang DIKLAT bagi pengawai Kejaksaan terdiri dari: 1. DIKLAT Prajabatan. 2. DIKLAT dalam Jabatan, terbagi atas: a. DIKLAT Struktural Kejaksaan; b. DIKLAT Fungsional Kejaksaan; c. DIKLAT Teknis Kejaksaan; Keterpaduan DIKLAT Jaksa, Polisi, Hakim, dan Advokat.
Norma hukum dan nilai-nilai yang hendak ditanamkan dalam proses pembentukan jaksa, melalui pendidikan, tidak hanya mengisyaratkan seorang jaksa memiliki pengetahuan ilmu hukum, akan tetapi juga memberikan pemahaman akan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum yang harus dijalankannya secara sadar, bertanggungjawab, berintegritas dan bermoral. Dengan demikian pendidikan dan pelatihan yang dilakukan aparatur Kejaksaan bukan hanya berkaitan penegakan hukum yang dilakukan secara profesional, tegas, transparan, kredibel, adil dan berkepastian hukum saja, akan tetapi juga bagaimana output yang dihasilkan dari kinerja institusi kejaksaan dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Disamping itu, Intitusi Kejaksaan juga  melakukan berbagai kegiatan pendidikan secara informal, seperti penerangan dan penyuluhan hukum disetiap lapisan masyarakat dan ikut serta dalam upaya edukasi penanaman nilai-nilai kejujuran dalam pergaulan sehari-hari.
Sebagaimana kita ketahui bersama, ketidaktegasan sikap aparat  penegak hukum menghadapi pelaku kejahatan (pelangar hukum) seperti banyak pelanggaran hukum yang tidak diusut, tidak ditanggapinya laporan pengaduan masyarakat tentang terjadinya kejahatan (pelanggaran hukum), kejahatan yang justru melibatkan aparat hukum atau bahkan sebagai pelakunya, bukan hanya merupakan indikator hilangnya kesadaran hukum aparatur hukum, tetapi juga penyebab menurunnya kesadaran  hukum masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaan hukum/penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat hukum yang tegas, konsekuen, penuh dedikasi dan tanggungjawab serta senantiasa memperhatikan rasa keadilan masyarakat, akan membantu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
Sejalan dengan upaya-upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, Institusi Kejaksaan telah menetapkan kebijakan peningkatan aparatur kejaksaan, melalui pembaharuan dan program reformasi birokrasi Kejaksaan yang bermuara pada terwujudnya penegakan hukum tegas, transparan, kredibel, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mengingat praktek peradilan pidana juga melibatkan institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka mekanisme penjatuhan hukuman (pemidanaan) sudah saatnya meninggalkan konsep-konsep pembalasan dendam (seperti hukuman seberat-beratnya), memperbaharui konsep rehabilitasi pelaku (pemasyarakatan narapidana), untuk menuju penerapan konsep restorasi justice, yang masih harus terus digali dan dimanfaatkan seluas mungkin.
Disamping itu upaya-upaya memberikan penerangan hukum dan penyuluhan hukum disetiap lapisan masyarakat (tingkat kecamatan dan kelurahan) diseluruh Indonesia, melalui kegiatan/pogram penyuluhkan hukum yang dilakukan bidang Intelijen Kejaksaan terus dilakukan secara kontinyu dan konsisten, sehingga diharapkan kesadaran hukum masyarakat dapat terus dibina. 
Selain itu pendekatan edukatif dalam memerangi kejahatan (pelanggaran hukum) yakni melalui kegiatan pendirian kantin kejujuran dan pendirian sekolah anti korupsi, dimana kegiatan tersebut diselenggarakan berkat bekerja sama Kejaksaan RI dengan Karang Taruna Nasional serta Kementerian Pendidikan Nasional RI. Maksud pendirian kantin kejujuran adalah menanamkan watak, sikap dan perilaku jujur kepada generasi muda khususnya generasi pelajar sedini mungkin, dimana penyelenggaraanya pada awalnya di sekolah-sekolah kejuruan, menengah pertama dan atas, namun kemudian meluas hingga didirikan diinstansi atau lembaga pemerintahan dan swasta. Diharapkan penanaman watak jujur, akan memberikan pengertian dan pemahaman kepada generasi muda, khususnya pelajar, akan bahaya dari perbuatan curang dan tidak patuh  terhadap norma dan nilai hukum dan agama, sehingga secara sadar akan senantiasa berbuat jujur dalam pergaulannya sehari-hari

Kejaksaan Mapan, Siapa Takut ?


Kejaksaan adalah institusi Penegak Hukum, yang bisa dikatakan lambat dalam mereform dirinya, baik dari aspek keorganisasian maupun aparaturnya, hal ini disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal disebabkan karena adanya tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan,  antara lain :
  1. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.
  2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen.
  3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus litis (sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah). 
  4. Jaminan kesejahteraan aparatur kejaksaan yang belum terealisasi. Program remunerasi atau peningkatan kesejahteraan melalui pemberian tunjangan berbasis kinerja kepada aparatur pemerintah termasuk kejaksaan, menjadi salah satu solusi peredaman meningkatnya praktek KKN, namun ironis bagi lembaga kejaksaan yang belum juga bisa direalisasikan, sementara lembaga seperti MA, Dept. Keuangan sejak tahun 2008, kemudian diikuti Polri, Menkumham, Menkopulhukam, Menpan, TNI dan Menhan akan direalisasikan tahun 2010. Belum lagi jika kita melihat kesejahteraan yang didapat aparatur KPK yang nota bene telah memberikan indikasi bahwa peningkatan kesejahteraan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja. Jadi siapa takut memberikan kesejahteraan bagi aparatur Kejaksaan ? jawabannya adalah para koruptor.

Hubungan Lembaga Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana


Pada awalnya kelahiran KUHAP mampu  memberikan harapan akan terwujudnya penegakan hukum pidana yang lebih efektif, adil dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dibandingkan hukum acara yang berlaku sebelumnya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Namun demikian setelah 28 tahun berlaku, harapan-harapan terhadap KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan akan harapan terwujudnya penegakan hukum yang dicita-citakan. Disamping itu seiring dengan perkembangan masyarakat dan kompleksitas penanganan masalah hukum dalam proses penegakannya, banyak ditemukan ketentuan-ketentuan KUHAP yang mengandung penafsiran sekehendak dari pihak yang berkepentingan sehingga menghilangkan aspek kepastian hukumnya.
Sebagai subsistem dari substansi hukum, KUHAP menjadi pedoman umum yang dijadikan landasan bekerjanya sistem peradilan pidana oleh lembaga penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan serta Penasehat Hukum. Dengan demikian kondisi yang ada pada KUHAP dengan kekurangan dan kelebihannya akan menjadi sangat mempengaruhi bekerjanya sistem peradilan pidana, bahkan tidak mungkin kelemahan yang ada pada KUHAP akan mengarah pada terjadinya kerusakan sistem peradilan pidana.
Demikian pula yang terjadi dalam hal hubungan antar lembaga penegak hukum berdasarkan kewenangannya masing-masing. Diawali dengan bekerjanya kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai gerbang utama dimulainya prosedur penegakan hukum. Bisa dikatakan dominasi kedua lembaga ini akan sangat menentukan proses penegakan hukum yang selama ini berjalan, bahkan ada pendapat yang menagatakan prosedur yang selama ini berjalan membagi fungsi penegakan dalam dua sistem yang terpisah, yakni penyidikan (crimininal investigation) dan penuntutan (prosecution) sebagai bagian terpenting dalam penegakan hukum dirancang untuk dilaksanakan oleh subsistem yang terpisah. Penyidikan menjadi fungsi utama subsistem Kepolisian, sementara penuntutan sepenuhnya menjadi fungsi subsistem Kejaksaan.
1.      Hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan.
Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua instansi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Keduanya seharusnya dapat bekerja sama dan melakukan koordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Akan tetapi dalam prakteknya sering terjadi miskoordinasi sehingga berpengaruh terhadap proses penuntutan yang menjadi kewenangan Kejaksaan, karena keberhasilan dalam melakukan penuntutan tergantung dari hasil penyidikan yang tepat dan dukungan alat bukti yang cukup.
KUHAP telah mengatur dan menentukan hubungan penyidikan dan penuntutan, dalam beberapa aspek yakni :
1)      Pemberitahun telah dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1);
2)      Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik ( Pasal 140 ayat 2 huruf c );
3)      Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2 );
4)      Kegiatan Prapenuntutan (Pasal 14, Pasal 110 ayat (3) dan (4), Pasal 138 KUHAP).
5)      Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik ( Pasal 143 ayat 4 ), demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( Pasal 144 ayat 3 );
6)      Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum ( demi hukum ), melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang pengadilan ( Pasal 205 ayat 2 ).
Dalam praktek, pelaksanaan fungsi penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHAP masih sering ditemui berbagai permasalahan, antara lain :
a)      Penyidik sejak mulai melakukan Penyelidikan harus sudah menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum (vide Pasal 109 ayat 1), namun demikian sering ditemui penyerahan SPDP disertai dengan penyerahan Berkas Perkara tahap pertama, hal tersebut tentunya menjadi pertanyaan, bahwa mana bisa penyidikan telah selesai dilkakukan dan harus diserahkan kepada penuntut umum (vide pasal 110 ayat 1), pada waktu bersamaan dikeluarkannya SPDP.
b)      Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan segera mempelajari dan menelitinya. Kemudian dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum (vide Pasal 138 ayat 1), kemudian jika dalam waktu 14 hari penuntut tidak memberitahukan/mengembalikan hasil penyidikan (berkas perkara) maka penyidikan dianggap telah selesai (vide Pasal 110 ayat 4). Hal sebaliknya tidak berlaku bagi penyidik, yang seharusnya setelah waktu 14 hari setelah menerima pengembalian berkas perkara beserta petunjuk penuntut umum harus sudah kembali, namun sering kali penyidik tidak mengirim kembali berkas perkara kepada penuntut umum. Dan kondisi ini tidak ada konsekuensi bagi penyidik, sehingga penyelesaian berkas perkara semakin lama.
c)      Berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal ada petunjuk yang harus dipenuhi dalam rangka kelengkapan berkas perkara. Contoh kasus perdata yang dipidanakan, sehingga berkas bolak-balik tidak bisa ketemu dan tidak dapat memberikan petunjuk untuk mengeluarkan SP3.
d)     Adanya pengembalian berkas oleh penyidik kepada penuntut umum dengan catatan “sudah maksimal, karena tidak dapat melengkapi berkas sebagaimana petunjuk umum, sedangan penuntut umum diberikan kewenangan terbatas hanya untuk melakukan pemeriksaan diluar tersangka, serta tidak ada pengaturan mengenai status tahanannya.
Disamping itu selama ini, tugas penyidikan dirasa selesai hanya sebatas telah diserahterimakannya berkas perkara, tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum pasca berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) oleh Penuntut Umum. Selanjutnya tanggung jawab penyelesaian perkara untuk disidangkan dan diperiksa di pengadilan adalah tanggungjawab penuh Kejaksaan.
Dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan, KUHAP juga telah mengatur hubungan penyidik dengan Hakim/pengadilan, yakni:
a.       Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas permintaan penyidik;
b.      Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat 1);
c.       Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;
d.      Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3);
e.       Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal 214 ayat 7)
Berpijak pada kerangka sistem peradilan pidana, sesungguhnya penyidikan merupakan bagian integral dari penuntutan. KUHAP telah menentukan bahwa untuk dapat atau tidaknya suatu perkara dinyatakan lengkap dan kemudian dapat atau tidaknya diperiksa di pengadilan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan adalah kewenangan Kejaksaan, untuk itu ada tanggung jawab moral Lembaga Kejaksaan karena peran dan wewenangnya yang begitu central untuk secara intens mengikuti perkembangan penyidikan yang dilakukan penyidik, namun demikian melihat permasalahan yang sering muncul dan terbatasnya waktu yang diberikan KUHAP kepada Lembaga Kejaksaan menimbulkan permasalahan yang suatu waktu dapat muncul dipersidangan, dan mempengaruhi proses persidangan itu sendiri.
Kedepan dalam rangka penyusunan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang baru, hendaknya permasalahan tersebut diatas dapat terakomodir dengan baik dan ketentuan yang dirumuskan mampu mengeliminir causa ketidakharmonisan hubungan Kepolisian dan Kejaksaan.

2.      Hubungan Kejaksaan, Pengadilan dan Penasehat Hukum.
Proses selanjutnya setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan dapat dilimpahkan ke pengadilan adalah melakukan pemeriksaan dan mengadili terdakwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang didakwakan. Dalam proses ini melibatkan Jaksa Penuntut Umum (Kejaksaan), Hakim (Lembaga Pengadilan) dan Penasehat hukum.
Bagaimana badan peradilan berdasarkan KUHAP menyelenggarakan proses peradilannya. KUHAP memiliki sepuluh asas sebagai berikut :
1)      Perlakuan yang sama di muka hukum;
2)      Praduga tidak bersalah;
3)      Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4)      Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5)      Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6)      Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7)      Peradilan yang terbuka untuk umum;
8)      Pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9)      Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10)  Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP menganut “due process of law” (proses hukum yang adil atau layak). Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi; dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihat hukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan penuntut umum harus membuktikan kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak.
Prinsip “equality before the law” merupakan salah satu ciri dalam sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP, dimana dalam praktek persidangan, menjamin kesetaraan antara lembaga-lembaga anggota sistem peradilan pidana. Kedudukan Jaksa sebagai penuntut umum disatu pihak dan kedudukan terdakwa bersama penasehat hukumnya disatu pihak memiliki posisi dan porsi yang sama didepan persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim.
3.      Hubungan Kejaksaan, Pengadilan dan Peran Lembaga Pemasyarakatan.
Penyelenggaraan peradilan pidana bermuara pada dikeluarkannya putusan oleh hakim pengadilan, putusan mana mencerminkan fakta-fakta yang muncul dipersidangan baik yang bersumber dari Penuntut Umum dan terdakwa bersama Penasehat Hukumnya yang tentunya harus disertai dengan alat-alat bukti pendukung yang cukup dan kuat, sehingga memberikan keyakinan kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan pidananya.
Undang-undang Nomor : 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 36 mengatur tentang putusan, pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan, yakni :
(1)      Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
(2)      Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
(3)      pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
(4)      putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Kewenangan kejaksaan sebagai pelaksana putusan pengadilan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, antara lain ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dan c yakni :
-        Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
-        Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.
Terkait  pelaksanaan pengawasan putusan pengadilan dalam perkara pidana juga terletak pada tanggung jawab Ketua Pengadilan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 tahun 2004 telah ditentukan dan diatur dalam KUHAP, yakni Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 yang menentukan antara lain :
1.      Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan (vide Pasal 277 ayat 1), hakim yang dimaksud dinamakan Hakim pengawas.
2.      Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya (vide Pasal 280 ayat 1).
3.      Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya (vide Pasal 280 ayat 2).
4.      Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan haikm tersebut (vide Pasal 281).
5.      Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu (vide Pasal 282).
Tujuan yang terkandung dalam kaidah ini adalah agar terdapat jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di samping itu untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan lembaga kejaksaan tetapi juga dengan Lembaga Pemasyarakatan. Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat putusan dijatuhkan olehnya.
Namun demikian kaidah tersebut jarang sekali atau bahkan mungkin tidak terlaksana sama sekali dalam prakteknya, sehingga selesainya peradilan pidana tidak diikuti proses pembinaan secara terpadu. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan keinginan pemasyarakatan yang sebenarnya, yakni sebagai proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan diharapkan agar para terpidana mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana, tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Namun demikian untuk mencapainya, tentu saja diperlukan pola pembinaan yang terencana dan terukur serta didukung sarana prasara LP yang memadai.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu sebagaimana yang dianut dalam KUHAP, memberikan konsekuensi pada keterpaduan dalam mewujudkan model penegakan hukum yang terpadu antara seluruh subsistem yang ada didalamnya. Keterpaduan tersebut dimulai dari kesesuaian dan bersinergi antara setiap peraturan perundang-undangan dibidang peradilan, memiliki pola pendidikan yang memadai, terorganisir dengan baik berupa pelatihan dan penerapan disiplin tinggi dari seluruh aparat penegak hukum, sehingga mereka memiliki pola pikir dan pandangan yang sama dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yakni kepastian hukum dan keadilan yang sama bagi seluruh masyarakat, karena sesungguhnya anggota sistem peradilan pidana tersebut, meskipun berbeda fungsi namun bekerja pada tujuan dan untuk kepentingan yang sama yakni tersangka/terdakwa/terpidana, yang notabene adalah anggota masyarakat. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi masyarakat yang tinggi untuk bersama-sama memberikan respon terhadap penyelenggaraan penegakan hukum.
Saat ini peradilan pidana di Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan citranya dimasyarakat, sehingga peradilan pidana dapat dipercaya sebagai suatu sistem yang menjamin bekerjanya hukum sesuai dengan yang dicita-citakan. Oleh sebab itu bekerjanya sistem peradilan pidana harus selalu diupayakan melalui rencana dan program kerja pemerintah dibidang peradilan pidana yang bersifat terbuka dan transparan sebagai lawan dari sistem yang bersifat rahasia, samar dan tidak responsif. Sistem peradilan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat juga merupakan bagian dari konsep pemerintahan yang baik, yang pada gilirannya menjamin keberhasilan mayarakat yang berkelanjutan

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Tinjauan Normatif)


Istilah criminal justice system atau Sistem Peradilan Pidana menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
Sebagai suatu sistem penegakan hukum, sistem peradilan pidana tidak hanya dimaksudkan untuk memproses penyelesaian kejahatan yang cepat, berbiaya murah dan transparan, akan tetapi juga memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia, menghormati asas praduga tak bersalah dari status tersangka sampai dinyatakan bersalah, dan proses penghukuman yang memberikan jaminan keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor : 8 tahun 1981, menganut sistem Campuran yang meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai berikut :
  1. Tahap Penyelidikan.
  2. Tahap Penyidikan.
  3. Tahap Penuntutan.
  4. Tahap Pemeriksaan disidang peradilan
  5. Tahap upaya Hukum.
  6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan. 
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi penegak hukum memiliki hubungan yang erat. Keempat institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Mengingat, dalam penegakan hukum faktor penghambat sangat banyak, termasuk faktor-faktor sosial, ekonomi dan sebagainya, tetapi justru faktor terpenting penghambat penegakan hukum itu ada di dalam sistem hukum itu sendiri.
Seperti disinggung diatas bahwa sistem peradilan pidana selalu melibatkan dan mencakup sub sistem  dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut :
-      Kepolisian, dengan tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari publik; manakala terjadi tindak pidana; melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana; melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat diajukan ke Kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan kepada Kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak terlibat dalam proses peradilan pidana.
-      Kejaksaan dengan tugas pokok : menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke Pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
-      Pengadilan yang berkewajiban untuk : menegakan hukum dan keadilan; melindungi hak-hak terdakwa; saksi dan korban dalam proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil dan berdasar hukum; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini.
-      Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; memastikan terlindunginya hak-hak narapidana; menjaga agar kondisi LP memadai untuk penjalanan pidana setiap narapidana; melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.
-      Pengacara, dengan fungsi : melakukan pembelaan bagi klien; dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses.
Sub sistem dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dimaksud diatas, mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),  Undang-Undang Nomor : 8 tahun 1981, yang merupakan dasar pijakan penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan mengenai proses beracaranya hukum pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan KUHAP, disamping juga terdapat hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, dan tersebar dalam Undang-undang diluar KUHAP.
Tugas lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan  harus dibedakan sebagai konsekuensi pembagian kekuasaan demi mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan didalam satu tangan dengan berbagai eksesnya. Pembedaan dan pembagian kekuasaan/kewenangan juga dimaksudkan agar terjamin pelaksanaan spesialisasi yang mendorong profesionalisme. Namun demikian pembagian kewenangan tersebut tentunya tidak perlu menghalangi kerjasama positif, yang justru sangat diperlukan bagi berjalannya pelaksanaan peradilan.
Pada sistem peradilan pidana terpadu, setiap fungsi lembaga penegak hukum selalu terkait dalam setiap penyelesaian perkara, oleh karenanya dalam praktek fungsi yang dimiliki masing-masing lembaga penegak hukum seyogianya harus dicermati dengan memperhatikan kesinambungan proses. Berdasarkan kerangka berpikir demikian maka aktifitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), merupakan “fungsi gabungan” (collection funtion) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, penjara serta badan terkait. Sedangkan tujuan pokok gabungan fungsi tersebut adalah untuk menegaskan, melaksanakan (menjalankan) serta memutuskan hukum pidana. Dengan demikian secara luas kegiatan sistem peradilan pidana terpadu, harus didukung dan dilaksanakan oleh 4 (empat) fungsi utama, yaitu :
1.      Fungsi Pembuatan Undang-undang (Law Making Function),
2.      Fungsi Penerapan Hukum (Law Enforcement Function),
3.      Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan, 
4.   Fungsi Memperbaiki Terpidana (The Correction).