Selasa, 26 April 2011

Optimalisasi Peran Aparat Penegak Hukum dalam mendukung kegiatan Bisnis BUMN


Kebijakan pemerintah dibidang perekonomian yang berpedoman pada amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, berbunyi ;
(1)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan,
(2)    Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,
(3)    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  
Implementasi dari pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang perekonomian dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut adalah penguasaan dan kepemilikan atas kekayaan alam Indonesia melalui pengelolaan badan usaha yang diperuntukan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Bahan Bakar minyak merupakan salah satu kekayaan alam Bangsa Indonesia yang memiliki peran sangat besar dalam memajukan pembangunan ekonomi bangsa, yang pengelelolaannya dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dengan aset negara yang dimiliki, kebijakan pengelolaan aset negara/keuangan negara melalui badan usaha milik negara, merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap terjadinya penyimpangan dan apabila diketemukan atau didapatkan akan berimbas terhadap para penggunanya, tidak saja terhadap pejabat pemerintah daerah, Komisaris dan Direksi BUMN atau BUMD, tetapi juga pihak swasta terkait dengan penggunaan anggaran tersebut.
Kebijakan pengelolaan BUMN diarahkan oleh Pemerintah pada :
1.    Melakukan koordinasi dengan departemen/instansi terkait untuk penataan kebijakan industri dan pasar BUMN terkait. Hal ini diperlukan dalam kerangka reformasi BUMN yang menyeluruh.
2.    Memetakan BUMN yang ada ke dalam kelompok BUMN public service obligation (PSO) dan kelompok BUMN komersial (business oriented), sehingga kinerja dan kontribusi BUMN dapat meningkat dan pengalokasian anggaran pemerintah semakin efisien dan efektif.
3.    Melanjutkan langkah-langkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif, yang dapat meliputi restrukturisasi manajemen, organisasi, operasi dan sistem prosedur dan lain sebagainya.
4.    Memantapkan prinsip-prinsip Good Coorperate Governance (GCG), yaitu transparansi, akuntabilitasm keadilan dan responsibilitas pada pengelolan BUMN PSO dan BUMN Komersial.
5.    Melakukan sinergi antar BUMN agar dapat meningkatkan daya saing dan memerbikan multiplier effect kepada perekonomian Indonesia. Resource based economic yang memberikan nilai tambah akan ditumbuh kembangkan. 
Aparat penegak hukum mempunyai kewajiban dalam melaksanakan penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Jika dikaitkan dengan pengelolaan aset negara yang dikelola BUMN, maka penegakan hukum dalam upaya mewujudkan Good Corporate Governance, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi mempunyai arti sangat penting dalam rangka menjamin kepastian hukum, yang menjadi salah satu pendukung dalam peningkatan perekonomian bangsa, sehingga tidak menjadi bias. Oleh karena itu pada kesempatan ini, Saya akan menjelaskan beberapa hal terkait dengan pengertian korupsi, Keuangan Negara, koorporasi dan Pedoman Pengelolaan keuangan negara.
Pengertian Korupsi
Kata Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt, yang arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto 1995 :115)
Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank adalah “an abuse of public power for private gains”, (World Bank:1997) penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Sedangkan dalam praktik, dikenal dua bentuk korupsi yaitu (Marwan Effendi 2010: 7) :
1.    Administrastive Corruption
Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum/peraturan yang berlaku, akan tetapi ada individu-individu tertentu yang memperkaya dirinya sendiri atau berupaya memanfaatkan atau mencari keuntungan dari situasi yang ada. Seperti dalam pelaksanaan pelelangan, seakan-akan sudah sesuai dengan aturan, padahal pemeneng lelang sudah ada dan sudah ditentukan terlebih dahulu, meski kemudian tetap diumumkan.
2.    Against The Rule Corruption
Korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum, seperti pemerasan, penyuapan, memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum atau dengan perbuatan penyalahgunaan jabatan.
Meskipun akar dari masalah korupsi menurut Jeremy Pope “kemiskinan” (corruption by the poor) (Jereme Pope 2003:17). Tetapi kemiskinan bukan satu-satunya penyebab korupsi, mengingat tidak sedikit para tersangka atau terdakwa yang ekonominya mapan (corruption by the greedy). Mengacu kepada analisa BPKP, dapat dikatakan bahwa penyebab terjadinya korupsi multi kompleks, tidak saja akibat lemahnya sistem hukum, tetapi disebabkan berbagai faktor, seperti kesejahteraan, moral atau kadar iman yang rendah, pengawasan yang kurang efektif dan efisien serta rendahnya kesadaran hukum BPKP : 1999).
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan di dalam Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971.  Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.  Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokan sebagai berikut (Marwan Effendi :8) :
1.    Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.    Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi.
3.    Kelompok delik penggelapan. 
4.    Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). 
5.    Kelompok delik pemalsuan. 
6.    Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. 
Pengertian Keuangan Negara berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a.    Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b.    Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.  
Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah :
a.    Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.    Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
c.    Penerimaan Negara;
d.    Pengeluaran Negara;
e.    Penerimaan Daerah;
f.     Pengeluaran Daerah;
g.    Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h.    Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.      Kekayaan pihak lain  yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Terkait dengan dilakukannya penyidikan Tindak Pidana Korupsi, dimana salah satu unsur pokok perbuatan korupsi yang wajib dibuktikan oleh aparat penegak hukum adalah unsur “dapat menimbulkan keuangan negara”. Pengertian Keuangan Negara ini sering menjadi polemik karena memiliki pengertian yang dapat dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan perspektif hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana (Marwan Effendi:114), yang lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum administrasi negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tantang Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian negara dalam UU No. 1 Tahun 2004 ini sama dengan rumusan pengertian kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
2.    Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum perdata terkait dengan pengertian keuangan negara yang dikelola oleh perusahaan negara/perusahaan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Jadi kerugian negara disini adalah berkurangnya kekayaan negara/kekayaan daerah yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah yang disebabkan oleh perbuatan melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam UU No. 40 Tahun 2007 dan UU No. 19 Tahun 2003.
3.    Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum pidana adalah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan negara sehingga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan negara atau dapat merugikan negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur : pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik si pelaku sendiri, orang lain atau korporasi (Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001).
Polemik terhadap pengertian Keuangan Negara tersebut semakin tajam dengan keluarnya Fatwa Mahkamah Agung Nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006, antara lain menyatakan bahwa “piutang BUMN bukanlah piutang negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara”.
Pandangan Fatwa MA tersebut jika diikuti akan berdampak pada pengelolaan piutang negara, maka agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan, Ketua Mahkamah Agung pada saat itu, Bagir Manan telah menjelaskan bahwa Fatwa Mahkamah Agung tersebut harus dilihat berdasarkan perspektif hukum perdata, dan tidak bisa dicampuradukan dengan pengertian hukum pidana.
Dari uraian tersebut diatas, pengertian Keuangan Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara lebih terperinci dan bersifat administratif, sedangkan pengertian Keuangan Negara menurut Pasal 4 ayat 1 UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih bersifat keperdataan, sehingga pengertian tersebut berbeda dengan pengertian keuangan negara menurut Penjelasan Umum UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana pengertiannya lebih luas karena termasuk keuangan yang berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban, tidak saja BUMN dan BUMD, tetapi juga yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Dengan demikian pengertian keuangan negara di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001, merupakan pengertian yang spesifik pidana dan khusus yang bersandar kepada asas logische specialited yaitu meskipun sama-sama bersifat khusus, tetapi yang  mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam hal ini adalah pidana.
Pendapat yang demikian sejalan dengan Pendapat HA Demeersemen (Indriarto :2009:12) dalam kajian “de autonomie van het materiele strafrecht” (otonomi hukum pidana materil) menyatakan bahwa apabila ada perkataan atau terminologi yang sama, maka hukum pidana memiliki otonomi untuk memberikan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi apabila hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. 
Terkait dengan pengertian Keuangan Negara tersebut, terdapat lima konsep dalam menentukan metode-metode penghitungan kerugian keuangan negara yang terjadi dalam suatu korporasi atau badan hukum (Marwan Effendi :116), yaitu :
1.    Menghitung kerugian yang terjadi secara keseluruhan (total loss) dari korporasi.
2.    Selisih harga kontrak dengan harga pokok pembelian/produksinya.
3.    Selisih harga kontrak dengan harga/nilai pembanding tertentu.
4.    Penerimaan hak negara yang dikelola oleh korporasi atau badan hukum.
5.    Pengeluaran korporasi atau badan hukum yang dikelola tidak sesuai dengan peruntukkannya sehingga merugikan keuangan negara.
Suatu penyimpangan, penggunaan anggaran dan pengelolaan keuangan BUMN tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan negara atau dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi, ketika (Marwan Effendi 2006 :5) :
pertama perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dalam pengertian formil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan
kedua para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik sipelaku sendiri, orang lain atau korporasi (pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 th 1999 jo Undang-Undang No. 20 th 2001).
Koorporasi dalam pengertian dan sebagai subjek hukum
Pengertian koporasi berdasarkan Black’s Law Dictionary, yaitu : “An entity (usually a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely part from them, and has the legal powers that is constitution gives it”. (Bryan A Garner:341)  
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korporasi diartikan sebagai badan usaha yang sah/badan hukum/perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan besar. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa korporasi dapat juga berupa perusahaan perseroan, yang berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pengertian dari Perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya.
Sedangkan menurut UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengertian korporasi adalah “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Korporasi sebagai badan hukum (rechtperson, legal persons, persona moralis, legal entity) adalah subjek hukum yang menurut Sudikno Merto Kusumo memberikan pengertian subjek hukum yaitu segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Jika suatu korporasi melakukan pelanggaran, maka korporasi tersebut bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana, bahkan tidak hanya dalam badan hukum atau korporasinya saja, tetapi juga orang-orang yang ada didalamnya yang bekerja sebagai pengurus korporasi tersebut yang tidak hanya atas nama  pribadi saja tetapi juga dari sudut peranannya dalam korporasi tersebut (Barda Barda Nawai 2001:126).
UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 21 tahun 2001 menegaskan bahwa subjek tindak pidana korupsi adalah setiap orang atau korporasi (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3). Pengertian setiap orang adalah “orang perorangan atau termasuk korporasi. Dari pengertian ini subyek hukum yang dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya orang perorangan secara individu tetapi juga suatu korporasi.
Dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi maka tuntutan pemidanaan dapat diberikan kepada : 1) korporasi; dan atau 2) pengurusnya. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) nya, dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, (Marjono 1989:9) yakni :
1.    Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab;
2.    Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab;
3.    Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan BUMN adalah menyangkut pengelolaan keuangan negara, oleh karenanya maka yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pedoman pengelolaan keuangan negara.
Penegasan tersebut penting artinya, karena dalam pengelolaan kekayaan negara termasuk keuangan negara, antara lain yang dikelola oleh BUMN, terlepas apakah go public atau tidak, tidak hanya harus mengacu kepada prinsip-prinsip atau azas-azas umum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat 3 Undang-undang No. 19 Tahun 2003, yaitu profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban serta kewajaran, tetapi juga harus mengacu pada prinsip-prinsip atau asas-asas umum yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan penjabaran pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practise (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
1.    Akuntabilitas berorientasi pada hasil (outcome);
2.    Profesionalitas;
3.    Proporsionalitas;
4.    Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
5.    Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang tersebut juga ditegaskan bahwa “keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”.
Prinsip tersebut merupakan Prinsip Good Corporate Governance yang harus diterapkan pada pengelolaan BUMN public service obligation (PSO) maupun BUMN Komersil dan merupakan kewajiban Direksi maupun Komisaris dan Dewan Pengawas untuk mengindahkannya.
Selain itu perlu diketahui oleh BUMN dalam melakukan pengelolaan aset negara adalah pengertian tentang perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan kerugian negara. Di samping harus memperhatikan juga rencana kerja dan program kerja yang mengacu kepada fungsi manajemen yang meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan (staffing/assembling resources), pengarahan (directing/commanding) dan pengawasan atau pengendalian (controlling), guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari terkait dengan pengelolaan keuangan negara.
Kemudian penerapan fungsi manajemen juga penting artinya, disamping Petunjuk Operasional (PO) yang berfungsi sebagai rencana terperinci termasuk jadwal penyelesaian kegiatan. Berdasarkan PO tersebut, dipersiapkan sistem kerja atau Standar Operasional Prosedur (SOP) meliputi :
a.    Susunan organisasi kegiatan lebih lanjut yang disesuaikan dengan ruang lingkup atau tugas suatu kegiatan;
b.    Ketetapan kebijaksanaan pelaksanaan teknis kegiatan;
c.    Susunan rencana kegiatan/kerja proyek dengan menentukan secara terperinci kebutuhan sumber-sumber daya, biaya dan waktu;
d.    Pengaturan dan rumusan prosedur dan metode kerja;
e.    Ketetapan standar/tolok ukur kegiatan/kerja untuk pengendalian kegiatan dan personil.
Baik Peraturan Perundang-undangan, kaidah-kaidah, PO maupun SOP adalah kerangka acuan di dalam mewujudkan clean corporation atau good corporate managers. Tujuannya adalah untuk membatasi atau menghindari tindakan agar tidak menyimpang, artinya dalam mengelola kekayaan negara setiap orang yang diberi amanah atau tanggungjawab dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan sebaik-baiknya agar tidak melakukan praktik-praktik perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, orang lain atau korporasi sehingga dapat menimbulkan kerugian, karena perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Pengelolaan atas aset milik negara merupakan bagian dari pengelolaan kekayaan negara yang juga masuk dalam lingkup keuangan negara, sehingga dalam pengelolaannya tersebut terkait dengan segala aturan perundang-undangan maupun asas-asas (prinsip-prinsip) yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara, yang harus dipedomani dan ditaati. Bilamana dikemudian hari di dalam implementasinya terjadi penyimpangan dari kaidah-kaidah yang secara tegas telah ditentukan, maka dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum sebagai Tindak Pidana Korupsi.
Ke hati-hatian yang harus dimiliki Korporasi BUMN adalah menyangkut rumusan tindak pidana korupsi yang bersifat formil dimana meskipun penyimpangan tersebut berupa potensi merugikan negara wujud dari pengertian hukum dari kata “dapat” sebagai frasa dari unsur merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, maka perbuatan korporasi tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Tanggung jawab pidana dalam penyimpangan pengelolaan aset milik negara tersebut oleh korporasi, tidak hanya dapat dikenakan kepada pengurus korporasi (secara individu/person) saja, tetapi juga dapat dikenakan kepada korporasi itu sendiri sebagai badan hukum yang juga menjadi subyek hukum pidana  dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001.
Upaya peningkatan penanganan perkara-perkara korupsi itu sendiri dimaksudkan untuk mewujudkan clean gorvernment dan good governance demi meningkatkan citra bangsa di mata dunia dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam perspektif pengelolaan bisnis aset negara oleh BUMN, juga akan memacu dan mendorong praktek-praktek bisnis, seperti standar etika dan transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness (GCG) serta profesionalisme pengelolaan perusahaan.